Saturday, May 10, 2014

Dallas Buyers Club: Mari Racik Obat Sendiri, Kawan

me too. I want my life to mean something before I run out of time. Kegelisahan hati anak muda terdalam namun juga terumum.

Hari Sabtu adalah hari bangun tidur tanpa beban, bangun tidur tanpa ada keinginan untuk ayan sehingga bisa tergeletak lagi 4 jam ke depan. Jadi tiap hari Sabtu saya malah bangun pagi. Hehe.
Bangkit dari kasur, segera saya memutuskan menonton film; belum sarapan, belum mencuci muka dan belum lain lainnya. Pokoknya nonton film.
Pilihan jatuh pada film Dallas Buyers Club (2013) arahan sutradara Jean-Marc VallĂ©e. Penasaran karena katanya aktingnya bagus bagus dan dramanya juga tidak cheesy. Ya memang benar, menurut saya akting dari Matthew McConaughey, Jared Letto dan aktor pendukung lainnya sangat rapih, enak dilihat, seperti menonton orang asli (lebay). Lupakan perihal akting, fokus pada ceritanya: seorang penderita HIV yang terpaksa terikat oleh kekuatan industri obat obatan. 

Sejak kecil saya sering dinasihati hal hal prinsipil yang menurut bapak saya baik mengenai hidup: lakukan yang memang hatimu ingin asalkan hal tersebut tidak merugikan orang lain, tidak merugikan dirimu juga, dan mengikuti hukum alam. Ya begitu, pokoknya hal hal klise tapi ya tidak banal. Biasanya, nasihat diberikan sambil mencontohkan dari pengalaman teman temannya dan pengalaman keluarga kami sendiri.

Hari itu, bapak menasihati saya dengan menceritakan sebuah kisah teladan yang berangkat dari Om-nya, alias eyang saya yang kebetulan waktu itu sekitar tahun 1999 menjabat sebagai salah satu pengambil keputusan di sebuah kelompok persatuan dokter di Indonesia. Beliau didatangi seorang "penjual" obat (tycoon begitu) ke rumahnya. Penjual obat itu menyodorkan sebuah surat rumah, surat tanah dan juga sebuah kunci mobil (entah beserta mobilnya juga atau tidak) sebagai "amplop" dengan permintaan agar obat yang ia produksi bisa menjadi obat resmi yang wajib digunakan di rumah sakit. Padahal waktu itu, sudah ada obat yang lebih baik, begitu bahasa awamnya. Eyang saya tidak mau menyentuh sama sekali iming iming "amplop" tersebut. Berminggu minggu, surat surat dan kunci mobil tergeletak begitu saja di meja ruang tamu rumahnya. Sampai pada akhirnya penjual obat tersebut kembali dan mengambil "amplop" yang ia tawarkan sambil kemudian meneror eyang saya untuk beberapa hari. Karena keluarga saya berperan sebagai protagonis di sini, ya jelas eyang saya tetap teguh dan tidak mengijinkan obat tersebut beredar sebagai obat wajib *applause*

Nah kira kira cerita tentang eyang saya tadi menjadi pengantar bagaimana saya menonton Dallas Buyers Club. Ketika seorang yang sama sekali awam berobat dengan harapan bisa pulih, atau setidaknya cukup sehat untuk hidup beberapa tahun, malah diobati dengan obat obatan pilihan rumah sakit alias obat obatan pemenang persaingan bisnis, padahal persaingan bisnis industri itu sudah terkenal kotornya bukan? Memang masalah lama, tapi ya gimana lagi, harus ke mana kita pergi kalau sakit? Masa harus pergi ke negeri Tiongkok mencari tabib di pegunungan Himalaya? Terimakasih pada film ini karena memberikan edukasi bahwa sebagai konsumen pun harus tetap aware terhadap apa yang kita konsumsi, sekalipun pihak yang menawarkan atau memberikan adalah pihak yang berperan sebagai orang baik. (Ya, hanya berperan karena menurut Sigmund Freud sih makhluk hidup berangkat dari agresi dan rasa benci begitu. Tidak ada yang benar benar baik. Hehe. Apa lah saya ini sok asik mengambil teori dari orang terkenal biar dikira pintar). Terlebih lagi rumah sakit adalah pihak yang dipercaya untuk mengemban keselamatan nyawa orang lain. Tapi tetap saja, rumah sakit juga manusia atau juga industri yang tidak bisa sepenuhnya berbaik hati tanpa meraup keuntungan kan?
Selain itu, Ron Woodroof, tokoh utama pengidap HIV dalam film ini, mengajarkan kita untuk taking DIY to the next level yaitu mencari dan meracik obat sendiri untuk pengobatan diri kita. Dan itu nyata. Kita sebagai manusia kan hakekatnya sama, jadi kita semua pasti bisa membuat barang barang yang dijual di pasar, bisa membuat barang barang yang dibuat oleh orang lain, begitu. (Masalahnya, apakah kita tidak terlalu malas mempelajari bagaimana semuanya dibuat? Terlebih lagi apakah kita punya hak untuk mendapatkan bahan baku? Nah, kasian benar rakyat yang tidak pegang kuasa apapun alias rakyat jelata)

Baiklah, akhir kata mari kita bersama sama patahkan theory of agression. Mari sebagai manusia kita bersinergi untuk menciptakan hidup yang baik, untuk bisa "mean something". Hehehe. (Silakan membaca di IMDB saja tentang plotting summary-nya, atau silakan nonton film nya langsung saja lah)


No comments:

Post a Comment