Sunday, June 22, 2014

Artvertising: Artis dan Pengiklan Sama Saja


Tiket Art|Jog 2014

Study Group Kelas Penulisan Naskah Iklan, Pagoda

Sekitar seminggu yang lalu, saya beserta study group untuk kelas penulisan naskah iklan saya berjalan-jalan ke kota untuk melihat pameran kesenian kontemporer yang terbuka bebas untuk khalayak ramai, bahkan mereka yang tidak memiliki cukup banyak minat terhadap seni visual pun ikut berbondong-bondong merayakan pagelaran karya seni yang cukup besar ini: berskala internasional dan dengan baik dikelola oleh sebuah firma public relations multinasional. Saya tidak ingin berkomentar banyak tentang bagaimana karya seni yang tadinya bersifat ekslusif, sekarang nuansanya menjadi lebih ramah. Karena keramahannya tersebut, muda mudi dengan senang hati berdatangan menyaksikan karya seni atau sekadar berfoto di depan karya seni agar mendapatkan latar yang bagus yang mana ia bisa meletakkan dirinya yang manis dan ganteng di depannya kemudian ditangkap menjadi sebuah foto diri dengan keindahan yang tiada terperi sehingga pantas untuk dipajang menjadi avatar twitter kemudian berdoa agar seluruh dunia dapat melihat kemegahan dirinya. Bagi saya hal tersebut bukanlah hal yang salah atau bodoh, melainkan merupakan satu bentuk apresiasi seni yang baru akibat berubahnya kondisi dunia. (tenane?)

Cukup untuk komentar sok asik tentang penikmat-penikmat seni baru. Di sini, karena saya sedang ada di dalam jati diri "orang iklan", begitu juga teman-teman saya yang datang bersama saya, gagasan dalam benak kami tentunya mirip saat melihat karya seni di Art|Jog: Apa bedanya iklan dengan karya seni di sini? Toh karya seni tidak berangkat dari neurotisme saja melainkan memiliki pesan yang jelas, kemudian dikemas dalam suatu rupa yang (seharusnya) bisa dipahami orang lain (sehingga memiliki nilai jual). Secara garis besar, iklan sama saja seperti karya seni yang tampil di Art|Jog. Hanya saja, para pembuat iklan dianggap tidak berpandangan kritis sehingga tidak pantas menjadi karya seni untuk dipajang di Art|Jog.  Malahan, iklan dianggap sebagai produk "hina" oleh kaum kaum anti-kapitalisme. Atau mungkin hanya karena karya seni iklan memiliki pesan terlalu "obvious" untuk dipajang dalam pameran seni? Ya.. mungkin.

Selama ini, karya seni populer yang berangkat dari era ekspresionisme dan berkembang menjadi seni kontemporer dianggap bukan sebagai bagian sistem borjuis, netral saja tempatnya, bahkan cenderung kritis. Jadi, halal saja apabila para seniman menjunjung idealisme kerakyatan. Padahal, para seniman juga manusia yang membutuhkan hal-hal bersifat materi, walau kadar spiritual para seniman pastilah tinggi. Ia butuh satu sistem untuk menguangkan"produk"-nya. Hal tersebut sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu (juga sudah dirumuskan olah Marx). Entah bagaimana dengan karya-karya Art|Jog yang notabene dikelola firma PR multinasional. Tapi sebesar apapun materialisme para seniman,  karya seninya tetap dianggap sebagai produk yang berintelektual tinggi dan dianggap berpihak pada kaum marjinal. Sangat merepresentasikan kaum 60an dengan jiwa bebas.

Berbeda saat karya populer tersebut ditempatkan dalam iklan, ia seolah menjadi salah satu penyokong berjayanya sistem kapitalisme yang dianggap merugikan para rakyat jelata, jadi tidak wajar jika antek-antek iklan sok-sokan bersikap bohemian. Walau begitu, para pengiklan juga tidak bisa sepenuhnya dibilang bekerja sebagai the industrial man karena sesungguhnya mereka juga merepresentasikan cara berpikir kelompok seniman dan intelektual: memahami berbagai teori dan juga kritis terhadap isu sosial. Barulah mereka terlihat "jahat" saat kemudian mengaplikasikan temuannya yang berdasarkan teori dan jiwa kritisnya ke dalam produk praktis yaitu iklan yang secara kasar bertujuan untuk mempengaruhi kaum tertindas melakukan aksi pembelian terhadap barang-barang yang tidak dibutuhkannya.

Jika dipikir-pikir, antek iklan inilah sang Borjouis Bohemian sejati yang dituliskan dalam buku yang baru-baru ini mulai populer : Bobos In Paradise oleh David Brooks (atau saya saja yang baru merasakan bahwa banyak yang mengulas buku tersebut akhir akhir ini karena pada tahun terbitnya saya masih kelas 1 SD). Kaum yang bekerja dalam sistem borjuis tapi bergaya hidup selayaknya bohemian 60an: mendengarkan musik-musik alternatif, menyadari pentingnya kegiatan amal untuk mengatasi kelaparan dunia, membeli produk organik dari petani lokal. Kemudian yang biasanya menjadi kekhawatiran para muda mudi idealis yang sedang belajar iklan adalah: apakah salah menjadi bagian dari kaum tersebut?

Salah seorang teman saya pernah bilang: "gapapa lah, kalau ngga ada industri ya ngga ada perputaran uang. Kita di sini membantu perputarannya" Benar sekali. Sebagai masyarakat yang sudah melewati masa-masa modern tentu sadar bahwa industri dan perputaran uang sudah menjadi alam kita. Tidak ada yang salah berada dalam industri, malah (mungkin) seharusnya begitu. Tapi perlu juga diimbangi dengan etika untuk tetap kritis dan peduli dengan masalah-masalah di masyarakat, yang sebenarnya timbul dari dampak industri itu sendiri. Kesimpulan yang sangat indah dan mudah.

Hal-hal tersebut di atas hanyalah pemikiran superficial dari seorang mahasiswa kampus kerakyatan yang masih harus mengambil  mata kuliah semester 3 di semester 7 besok. Bisa jadi hanya omongan ngawur tentang konsep untuk mencari pembenaran dan rasa nyaman atas ketakutannya sebagai generasi Y yang kebingungan dan takut hidup dalam lingkaran para borjuis bohemian. Akhir kata, yang penting kita semua senantiasa sehat jasmani rohani dan bisa menjadi pribadi yang berguna. Terimakasih banyak. Silakan datang dan saksikan Art|Jog di Taman Budaya Yogyakarta, dibuka sampai tanggal 29 Juli 2014 dengan tiket senilai Rp 10.000,00. (ditulis saat mengikuti linimasa penghargaan iklan Cannes Lions)

No comments:

Post a Comment