Bahagia itu beda untuk semua orang, abstrak dan ngga bisa diukur dengan apapun, entah uang, jabatan dan hal lain. Sedih rasanya kalo orangtua selalu mengukur-nya dengan hal hal materialistis.
Seperti misalnya orangtua bilang ke kita, "Belajar yang rajin biar besok bisa kaya bapak beli mercedes keluaran baru" Saya suka sedih kalo anak belajar cuma disuruh biar besok bisa jadi pejabat yang uangnya banyak, malah melupakan esensi belajar itu sendiri. Apakah mercedes menjamin kita bahagia, Pak? Apakah jadi pejabat DPR RI menjamin kita bahagia nantinya, Bu? Tidak ada yang bisa menjamin kebahagian dan memberinya patokan. Secara kasat mata mungkin iya, contohnya, DPR RI yang pertengahan taun ini melaksanakan studi banding ke negara negara Eropa dan yang dihasilkan bukannya materi untuk memajukan pemerintahan malah piknik bareng keluarganya (oke saya mungkin awam dalam hal ini, coba cek blog Basuki T. Purnama di sini untuk lebih jelasnya). Mereka terlihat seperti anak TK yang sungguh pathetic, menginginkan liburan ke luar negeri. Apakah mereka bahagia? Makan uang rakyat untuk jalan jalan ke luar negeri dan sepulangnya ke sini yang dibawa malah tas tas dan sepatu high end bukannya ilmu yang seharusnya didapat dari study. Oke, stop cerita tentang government Indonesia, saya ngga ngerti, awam, ngga ingin sok tau dan menggurui. Tapi poinnya apakah kebahagiaan itu didapat dari harta?
Jika generasi muda sekarang ini diajarkan untuk bersifat konsumerisme, hedon, apa apa diukur dari price dan bukan value, mau jadi apa negeri kita? Mau jadi negeri permainan anak TK?
Mengapa tidak mulai sekarang katakan, "Bapak senang sekali bisa setiap hari bersama kalian dan ibu kalian, tanpa perlu mobil bagus bagus bapak sudah bersyukur sekali ada kalian, kalian yang selalu men-support. Terimakasih banyak ya." Anak anak pasti akan berpikir bahwa tujuan kita bukan mercedes, tapi kesejukan hati, rasa syukur, dan ketenangan. Rasa syukur yang bukan terpaksa karena dikira bersyukur itu ibadah yang nilainya 99 poin pahala. Ew, tentu saja bukan rasa syukur yg seperti itu. Rasa syukur menerima apa yang dititipkan-Nya di dunia ini pada kita tanpa perlu egois dan serakah. Kalo dipikir sih mustahil. Hari gini apa sih yang ngga pake uang? Mau pipis aja bayar. Well memang iya, makannya itu kita dikasih akal, gimana sih biar pipis ngga bayar? Gimana sih biar apa apa ngga perlu pake uang (dalam hal ini menjadi bahagia)? Pake akal mu, jangan cuma pake duit, kekerasan, kekuasaan. Malah kalo diliat di kota kota besar itu banyak yg stress gara gara ngejar duit melulu padahal rumahnya juga udah bagus, mobilnya bagus, penghasilannya di atas UMR banget. Kalo dibandingin sama orang orang desa yang apa adanya, ikhlas dan lebih sumringah, kontras sekali. (mungkin bisa bandingin orang orang jakarta dan joga, yg notabene jogja bukan desa yang isinya sawah kaya di ftv)
Silakan saja sih kalo ada yg filosofi tentang hidupnya adalah menjadi orang yang uangnya banyak, menurut saya sih jangan sampai lupa aja untuk menghargai hak orang lain, menghargai diri sendiri, jangan terlalu terbawa lifestyle yang sekarang keliatannya ada ada saja, menghindari sifat sifat DPR RI yang sekarang (semoga nantinya governmet lebih bijak, malu ngga sih kita tinggal di negri yang kaya raya tapi sekolah gratis aja ngga bisa terwujud?), setidaknya sekarang jangan ukur orang itu bahagia atau engga dari rumahnya, kendaraannya atau gadget nya. itu sih harapanku, setidaknya untukku sendiri :D
No comments:
Post a Comment